AKU DAN MEREKA (Untuk M.O.C.C.A)


Musik mengalun merdu memenuhi sudut-sudut lorong bercorak putih tulang yang kusam. Ramainya keadaan dalam ruangan kecil ini tak sulit dikenali dari luar, meski karpet biru yang menyelimuti lantainya sedikit meredam suara. Aku terduduk di atas bangku coklat tua yang kokoh, menjawab setiap pertanyaan yang sibuk disusunnya di hadapanku. Terkadang kami melantunkan tawa, ketika selesai menyampaikan beberapa patah kata. Tuhan, aku ingat itu. Aku ingat semuanya. Bahkan ketika dentangan lagu baru yang asyik kami dengarkan itu berganti dengan kerasnya suara bel dari loudspeaker. Dan kami berseru kecewa, sembari mengambil mushaf Al Qur’an dari lemari mungil di sudut kelas.

Papan tulis di hadapan kami tak lagi berwarna putih, ketika seseorang kemudian masuk, menerangkan berbagai macam hal aneh yang tak pernah kami ketahui sebelumnya. Terkadang kami bertanya-tanya maksud dari penjelasan itu, meski juga tak berhenti terpaku pada episode terbaru film yang tadi malam tayang di televisi. Lalu kami mengeluarkan sebatang bolpoin hitam dari dalam kotak pensil bercorak kartun kegemaran kami, dan mulai mencatat huruf-huruf hitam di papan tulis. Persis, sama. Aku melirik ke arah jam dinding yang sedari tadi menatap tajam ke arahku. Dentangannya seakan saling berkejaran, menunjukkan angka-angka yang tak pernah bosan berdiam di sana. Langkah mereka semakin cepat, dan tak lama setelah kupalingkan wajahku dari hadapannya, suara bel itu terdengar lagi.

Sudut kecil yang berada tepat di depan pintu ruangan kami penuh sesak oleh langkah-langkah kaki yang tergesa. Aku tertawa perlahan, memandangi gerak-gerik mereka. Seolah makanan yang dijual di kantin tak mampu menandingi jumlah para pemilik kaki dan suara dentuman langkah mereka yang dengan jelas, dapat kudengar dari dalam. Sesekali pekikan kecil terlontar dari mulut mereka. Namun aku tak begitu peduli. Sahabatku, mereka ada di dalam, serius menonton film-film konyol yang baru dibeli. Tokoh-tokohnya gigih membuat tawa kami bergelak, bercampur dalam dinginnya atmosfir ruangan kami yang ber-AC. Tuhan, andai suatu saat nanti kami bisa merasakannya kembali.

Ruangan ini bertambah ramai, ketika salah satu dari kami yang bertugas menghubungi guru pelajaran selanjutnya, kembali. Jeritan kegembiraannya tak tertahan. Dan setelahnya, tak ada yang mencoretkan spidol hitam ke papan tulis lebar di hadapan kami. Tak ada suara dan kata-kata penjelasan yang terdengar. Lagi-lagi hanya aku dan mereka, melanjutkan perbincangan yang terputus, tadi pagi. Sedang di sudut depan, para penggila online kembali mengutak-atik benda canggih di hadapan mereka. Satu lagi yang dapat kuingat dengan jelas, kegiatan itu takkan pernah berjalan tanpa alunan musik. Dan musik-musik slow yang menawan takkan pernah bertahan selama para penyuka aliran rock itu bersiap di depan, lalu dengan sigapnya memasukkan lagu-lagu kesayangan mereka ke dalam playlist. Sejenak aku berpaling dari ‘kesibukanku’ berbincang, memberi kesempatan pada kedua mataku ini, menyaksikan perdebatan sengit para pemilik speaker kelas. Tak pernah ada yang menang, kami hanya melerai mereka, mengisyaratkan untuk saling bergantian memutar lagu-lagu manis itu.

Waktu dengan cepat berjalan, mengganti angka demi angka yang mereka hinggapi bergantian. Suara azan menggema di seluruh sudut ruangan. Aku beranjak dari bangku coklat itu, mempersiapkan diri untuk melaksanakan shalat. Begitu juga mereka, yang sibuk mengambil peralatan shalat dan sandal dari dalam tas. Kami berlari keluar, berebut sandal yang jumlahnya terbatas, kemudian mengambil air wudhu, dan melaksanakan shalat Dzuhur. Kami sengaja memilih kelas kesayangan kami ini untuk beribadah, karena keadaan Mushalla penuh oleh siswa-siswi lain yang saling berdesakan. Lagipula, tak ada jarak yang perlu ditempuh untuk bisa melaksanakan ibadah. Hanya saja, kami harus selalu memastikan bahwa daerah yang kami gunakan untuk shalat itu suci. Sedikit sulit memang. Kurasa butiran debu dan bongkahan-bongkahan kecil kertas tak mampu menahan diri mereka untuk tidak berserakan di atas karpet. Biarlah, kami lebih memilih membersihkannya meski dengan bersungut-sungut. Kesal. Hanya satu kalimat yang mengembalikan semangat. It’s time for lunch !

Untuk yang kesekian kalinya, nyaring suara bel itu kembali terdengar. Ketika itu, aku baru saja menyelesaikan catatan kecil yang sengaja kusalin dari papan tulis putih pudar yang kini penuh coretan tinta. Segera saja kuimbangi aktivitas sahabat-sahabat di sekelilingku –berkemas- . Beberapa buku catatan, buku-buku tebal dengan sedikit gambar dan sarat akan tulisan, kotak pensil, dan tumpukan kertas-kertas materi. Kuperiksa semuanya. Dan setelah yakin semua beres, kami mengucap salam pada wanita cerdas di hadapan kami, dan berlarian menyerbu udara luar.

Kurang lebih begitu. Hanya sekelumit aktivitas yang bahkan dapat kutuliskan dalam dua lembar kertas putih ini. Kuharap, aku akan bosan dengan semua ini. Kuharap tak lagi ada harapan dan sebulir rasa rindu pada setiap tempat di mana langkahku pernah berjejak. Kuharap tak lagi ada tawa yang bisa kuingat, saat waktu memisahkan kami semua, pada saatnya nanti.

Tapi kurasa tidak. Dan mungkin tidak akan pernah. Meski tak selamanya kami berkumpul dalam ruangan mungil itu, seperti alunan lagu yang biasa kami dendangkan bersama, aku ingat, bagaimana kami mengakhiri nada terakhirnya. Lembut dan menyenangkan. Tuhan, bantu aku menjalaninya.




30 Januari 2010,




Komentar

Postingan Populer